Sabtu, 30 Maret 2013

Agama Hindu dan Buddha berasal dari India masuk ke Indonesia sekitar abad ke-4. Pengaruh kedua agama ini sering disebut dengan istilah “kebudayaan Hindu” yang banyak membawa perubahan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti agama, struktur pemerintahan, kehidupan masyarakat dan sebagainya.

            Kemampuan beradaptasi agama Hindu dan Buddha dengan lingkungannya telah melahirkan akulturasi kebudayaan antara kebudayaan asli dengan kebudayaan India. Adaptasi secara alamiah ini dimungkinkan adanya beberapa persamaan, yaitu banyak digunakannya symbol-simbol dalam pemujaan agama Hindu dan Buddha, seperti adanya bangunan candi, arca, relief, seni hias yang masing-masing memiliki makna simbolis sesuai dengan bentuk dan fungsinya.

            Berbicara mengenai candi, bangunan yang satu ini merujuk pada salah satu bangunan suci peninggalan zaman Hindu-Buddha di Indonesia.  Pembagian candi baik secara vertikal maupun horizontal merupakan gambaran adanya 3 alam kehidupan yaitu alam bawah (bhur-loka) yang didiami oleh makhluk jahat, alam tengah (swah-loka) yang ditempati oleh para dewa serta roh nenek moyang (Soediman, 1986, 552). Bentuk candi sendiri merupakan replika dari bentuk gunung beserta isinya (yang digambarkan dalam bentuk relief). Gunung dalam konsep Hindu merupakan tempat bersemayam para Dewa sedangkan dalam kepercayaan asli tempat yang tinggi merupakan tempat tinggal para roh nenek moyang. Kesamaan inilah yang mengakibatkan munculnya simbol-simbol dalam sistem kepercayaan yang mereka anut.

Dalam kitab-kitab Hindu, dinyatakan bahwa pembangunan suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pemimpin proyek) dengan pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh Acarya. Yajamana membawahi dua orang arsitek yaitu Sthapaka (arsitek pendeta guru) dan Sthapati (arsitek perencana). Sthapaka bertugas membuat persiapan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan hal-hal gaib di dalam proses pembangunan atau perencanaan suatu candi, sedangkan Sthapati bertanggung jawab atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Sthapati membawahi Sutragrahin (pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin (perancang seni hias) dan Taksana (ahli pahat). Sthapati, Sutragrahin, Vardhakin, Taksaka dapat digolongkan sebagai Silphin (ahli bangunan). Trinitas antara  Sthapati, Yajamana, dan Acarya merupan cerminan kesatuan antara Brahma, Wisnu, dan Rudra dalam filosofis Hindu.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, candi dapat diartikan sebagai bangunan kuno yang dibuat dari batu, berupa tempat pemujaan atau penyimpanan abu jenazah raja-raja atau pendeta-pendeta Hindu atau Buddha. Dalam bahasa Sanskerta, candi adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut candika, sedangkan candigreha atau candikagrha atau candikalaya adalah penamaam tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Candi kemudian dikaitkan dengan bangunan kematian atau pemujaan arwah (candikalaya). Dalam Bahasa Jawa Kuno, candi atau cinandi atau sucandi berarti “yang dikuburkan”, sedangkan dalam pemahaman arkeologi, candi dapat dihubungkan dengan bangunan untuk pemakaman maupun pemujaan. Dalam Negarakretagama dan Pararaton dikenal pula istilah dharma, sudharma (dharma hajj), pura/puri (tempat) seperti Wisesapura, Wisnubhawanapura, Bajrajinaparamitapuri yang dapat dikaitkan dengan percandian (SKI, 2009, 165).

            Banyak istilah yang bermunculan mengenai pengertian candi itu sendiri. Di daerah Jawa Timur lebih spesifik mereka menyebut candi dengan sebutan “cungkup”. Seorang ahli bernama Raffles mengatakan bahwa istilah “cungkup” tersebut sudah dapat menggambarkan bahwa candi adalah sebuah tempat pemakaman. Seperti dalam bukunya, ia katakana bahwa mengenai sebutan cungkup dan candi itu, rupanya Raffles juga mengadakn pembedaan berkenaan dengan segi arsitekturnya, atas dasar pengamatannya sendiri yang keliru. Tak demikianlah halnya berkenaan dengan fungsinya, sebab dengan tegas ia menyatakan di tempat lain : “When the body of a chief or person of consequence was burnt ; it was usual to preserve the ashes and to deposit them in a chandi or tomb” (Raffles, 1917, I : 372).

            Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Raffles berpendapat bahwa cungkup maupun candi berfungsi sebagai pemakaman. Entah atas dasar apakah ia memperoleh kepastian dan berpendapat demikian. Mungkin ia bersuara demikian berdasar dari ahli Belanda bernama Wardenaar, yang menganalisis candi sebagai pemakaman dengan mengambil contoh Candi Jolotundo. Disana ia menemukan sebuah peti berbentuk sembilan kotak kecil yang berisi sisa-sisa abu pembakaran serta sisa-sisa tulang terbakar, pada tengahnya terdapat cupu emas yang berisi mata uang emas, kepingan emas dan perak (Brumund, 1854, II : 219 sq).

            Usaha pertama yang nyata untuk mendapatkan ketentuan bahwa candi memang dapat dihubungkan dengan pemakaman abu jenazah dilakukan oleh seorang ahli bernama Brumund. Ia melakukan pengamatan sendiri secara langsung ke lokasi percandian di Jawa Timur dengan cermat. Dan hasilnya ialah ia mengemukakan suatu pendapat bahwa umumnya pada candi-candi yang di dalam biliknya ada pentas persajiannya tidak terdapat suatu perigi. Namun demikian ia peringatkan untuk tidak menarik kesimpulan bahwa setiap candi yang tidak ada pentas persajiannya harus ada periginya. Selanjutnya Brumund berpendapat bahwa perigi itu dimaksudkan untuk menyimpan abu jenazah para raja, pembesar atau pendeta, sebagai perkembangan lebih lanjut dari kebiasaan menyimpan abu jenazah di bawah sesuatu stupa dalam agama Buddha (Soekmono, 1974, 3).

            Dari penelitian terhadap penggunaan kata “candi” dalam kesusasteraan Jawa-Kuno unsur kegaiban itu memang seringkali jelas terbayang, khususnya bila kita berhadapan dengan arti kiasan yang bersumber kepada fungsi candi. Pengertian sebagai “yantra” dan sebagai “palladium” cukup memberi alasan kepada Bahasa Jawa-Baru untuk menanggapi secara khusus unsure kegaiban yang tersembunyi di dalam sebuah candi. Berbeda dengan penafsiran candi sebagai “cungkup”, pengertian tersebut hanya terdapat di kalangan masyarakat di Jawa Timur, namun dapat pula dihubungkan dengan pengertian candi di daerah Jawa Tengah yang menyebut candi sebagai peti batu penyimpan abu jenazah. Karena cungkup adalah bangunan untuk menaungi kuburan maka wajarlah bahwa apa yang kita sebut dengan candi diartikan oleh mereka sebagai “cungkup”(Soekmono, 1974, 215).

            Suatu kuburan tidak selalu diberi cungkup. Namun hanya yang diperkirakan kuburan-kuburan orang-orang penting sajalah yang disertai cungkup, dan raja adalah terhitung sebagai orang terpenting sehingga tentu saja dicungkup makamnya. Maka dengan adanya istilah “cinandi” adalah “peti jenazah”. Kesalahpahaman inilah yang akhirnya membuat para ahli berfikir ulang mengenai pengertian maupun fungsi candi. Dari rakyat yang salah pengertiannya itulah seorang ahli bernama Brumund memperoleh keterangan bahwa dahulu kala ada tiga macam perawatan mayat, sehingga ia dapat menghubungkan penanaman abu jenazah dengan perigi candi. Dan sumber itu pula lah yang membuat Winter ahli lain, dapat memberi penjelasan bahwa candi adalah semacam peti batu tempat menyimpan abu jenazah.

            Demikian karena itulah bahwa yang menjadi sumber mula-mula anggapan seakan-akan candi adalah bangunan pemakaman, tidak lain adalah berasal dari cerita belaka yang terlanjur hidup di masyarakat. Jika sekarang ternyata cerita itu bersumber dari ketidaktahuan dan salah pengertian, maka menjadi jelas pula mengapa penafsiran candi sebagai makam tidak mendapatkan dukungan apa lagi pembuktian dari bahan-bahan serta keterangan-keterangan authentik yang telah dikumpulkan. Sebenarnya, semua petunjuk yang telah diperoleh merujuk pada sebuah kesimpulan bahwa candi memang tidak pernah berfungsi sebagai bangunan pemakaman, walaupun hanya untuk menanam abu jenazah sekalipun. Candi hanya berfungsi sebagai pendharmaan raja-raja yang telah meninggal, biasanya dibangun 12 tahun setelah kematian melalui upacara sryaddha disertai dengan arca perwujudan.  Sebaliknya, pengertian yang berulang kali adalah pengertian candi sebagai kuil.

            Sebenarnya sebagai makam pun candi sudah menjalankan peranan kuil, dan oleh karena menjadi tempat orang melakukan kebaktiannya menyembah dewa. Seperti kita ketahui, dewa yang diwujudkan sebagai patung itu sekaligus menggambarkan pula sang raja yang telah mencapai moksa. Maka dalam candi terdapat penggabungan antara penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek moyang. Ritual inilah yang disebut sebagai upacara syraddha. Unsur dewa inilah yang menyediakan zat rohaniah dan menurunkannya dari rongga atap candi ke dalam arca, sedangkan unsur nenek moyang menyediakan zat jasmaniah dari dalam perigi candi, sehingga pada waktu upacara area perwujudan itu menjadi hidup. Karena unsur jasmaniah itu tidak mutlak harus berupa “restes d’un mortel” melainkan dapat juga diwakili oleh pripih sebagai “reliques d’un dieu” maka abu jenazah sama sekali tidak diperlukan (Soekmono, 1974, 218). Diperkirakan tata cara ritual yang dilakukan pada saat mengadakan upacara di candi adalah dengan mengelilinginya. Ritus mengelilingi pusat di dalam tradisi Hindu-Buddha dinamakan teknik pradaksina dan prasawiya sehingga pada candi-candi tertentu dibuatkan selasar untuk ritual tersebut. Para ahli menduga bahwa pradaksina dan prasawiya berhubungan erat dengan urutan pembacaan relief candi sesuai dengan fungsi suatu candi. Teknik pradaksina adalah cara pembacaan yang mengelilingi dari kiri ke kanan atau searah jarum jam, sedangkan prasawiya adalah teknik dari kanan kiri atau berlawanan arah jarum jam.  Dengan demikian maka, jika semula ada masalah “makam atau kuil” dan “makam dan kuil”, sekarang dapat kita tetapkan bahwa pengertian “makam” harus kita sisihkan sehingga yang tinggal hanyalah : candi sebagai kuil saja.