Agama Hindu dan Buddha
berasal dari India masuk ke Indonesia sekitar abad ke-4. Pengaruh kedua agama
ini sering disebut dengan istilah “kebudayaan Hindu” yang banyak membawa perubahan
dalam berbagai aspek kehidupan, seperti agama, struktur pemerintahan, kehidupan
masyarakat dan sebagainya.
Kemampuan beradaptasi agama Hindu dan Buddha dengan
lingkungannya telah melahirkan akulturasi kebudayaan antara kebudayaan asli
dengan kebudayaan India. Adaptasi secara alamiah ini dimungkinkan adanya
beberapa persamaan, yaitu banyak digunakannya symbol-simbol dalam pemujaan
agama Hindu dan Buddha, seperti adanya bangunan candi, arca, relief, seni hias
yang masing-masing memiliki makna simbolis sesuai dengan bentuk dan fungsinya.
Berbicara mengenai candi, bangunan yang satu ini merujuk
pada salah satu bangunan suci peninggalan zaman Hindu-Buddha di Indonesia. Pembagian candi baik secara vertikal maupun
horizontal merupakan gambaran adanya 3 alam kehidupan yaitu alam bawah
(bhur-loka) yang didiami oleh makhluk jahat, alam tengah (swah-loka) yang
ditempati oleh para dewa serta roh nenek moyang (Soediman, 1986, 552). Bentuk
candi sendiri merupakan replika dari bentuk gunung beserta isinya (yang
digambarkan dalam bentuk relief). Gunung dalam konsep Hindu merupakan tempat
bersemayam para Dewa sedangkan dalam kepercayaan asli tempat yang tinggi
merupakan tempat tinggal para roh nenek moyang. Kesamaan inilah yang
mengakibatkan munculnya simbol-simbol dalam sistem kepercayaan yang mereka
anut.
Dalam
kitab-kitab Hindu, dinyatakan bahwa pembangunan suatu candi dipimpin oleh Yajamana (pemimpin proyek) dengan
pertimbangan-pertimbangan yang diberikan oleh Acarya. Yajamana membawahi
dua orang arsitek yaitu Sthapaka
(arsitek pendeta guru) dan Sthapati
(arsitek perencana). Sthapaka
bertugas membuat persiapan yang berhubungan dengan upacara-upacara ritual dan
hal-hal gaib di dalam proses pembangunan atau perencanaan suatu candi,
sedangkan Sthapati bertanggung jawab
atas proses fisik perencanaan dan pembangunan. Sthapati membawahi Sutragrahin
(pelaksana dan pemimpin umum teknis), Vardhakin
(perancang seni hias) dan Taksana
(ahli pahat). Sthapati, Sutragrahin, Vardhakin, Taksaka dapat
digolongkan sebagai Silphin (ahli bangunan). Trinitas antara Sthapati,
Yajamana, dan Acarya merupan cerminan kesatuan antara Brahma, Wisnu, dan
Rudra dalam filosofis Hindu.
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, candi
dapat diartikan sebagai bangunan kuno yang dibuat dari batu, berupa tempat
pemujaan atau penyimpanan abu jenazah raja-raja atau pendeta-pendeta Hindu atau
Buddha. Dalam bahasa Sanskerta, candi adalah sebutan untuk Durga atau dewi maut
candika, sedangkan candigreha atau candikagrha atau candikalaya
adalah penamaam tempat pemujaan bagi dewi tersebut. Candi kemudian dikaitkan
dengan bangunan kematian atau pemujaan arwah (candikalaya). Dalam Bahasa Jawa Kuno, candi atau cinandi atau sucandi berarti “yang dikuburkan”, sedangkan dalam pemahaman
arkeologi, candi dapat dihubungkan dengan bangunan untuk pemakaman maupun
pemujaan. Dalam Negarakretagama dan Pararaton dikenal pula istilah dharma, sudharma (dharma hajj), pura/puri (tempat) seperti Wisesapura, Wisnubhawanapura,
Bajrajinaparamitapuri yang dapat dikaitkan dengan percandian (SKI, 2009,
165).
Banyak istilah yang bermunculan mengenai pengertian candi
itu sendiri. Di daerah Jawa Timur lebih spesifik mereka menyebut candi dengan
sebutan “cungkup”. Seorang ahli bernama Raffles mengatakan bahwa istilah
“cungkup” tersebut sudah dapat menggambarkan bahwa candi adalah sebuah tempat
pemakaman. Seperti dalam bukunya, ia katakana bahwa mengenai sebutan cungkup
dan candi itu, rupanya Raffles juga mengadakn pembedaan berkenaan dengan segi
arsitekturnya, atas dasar pengamatannya sendiri yang keliru. Tak demikianlah
halnya berkenaan dengan fungsinya, sebab dengan tegas ia menyatakan di tempat
lain : “When the body of a chief or person of consequence was burnt ; it was
usual to preserve the ashes and to deposit them in a chandi or tomb” (Raffles, 1917, I : 372).
Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa Raffles berpendapat
bahwa cungkup maupun candi berfungsi sebagai pemakaman. Entah atas dasar apakah
ia memperoleh kepastian dan berpendapat demikian. Mungkin ia bersuara demikian
berdasar dari ahli Belanda bernama Wardenaar, yang menganalisis candi sebagai
pemakaman dengan mengambil contoh Candi Jolotundo. Disana ia menemukan sebuah
peti berbentuk sembilan kotak kecil yang berisi sisa-sisa abu pembakaran serta sisa-sisa
tulang terbakar, pada tengahnya terdapat cupu emas yang berisi mata uang emas,
kepingan emas dan perak (Brumund, 1854, II : 219 sq).
Usaha pertama yang nyata untuk mendapatkan ketentuan
bahwa candi memang dapat dihubungkan dengan pemakaman abu jenazah dilakukan
oleh seorang ahli bernama Brumund. Ia melakukan pengamatan sendiri secara
langsung ke lokasi percandian di Jawa Timur dengan cermat. Dan hasilnya ialah ia
mengemukakan suatu pendapat bahwa umumnya pada candi-candi yang di dalam
biliknya ada pentas persajiannya tidak terdapat suatu perigi. Namun demikian ia
peringatkan untuk tidak menarik kesimpulan bahwa setiap candi yang tidak ada
pentas persajiannya harus ada periginya. Selanjutnya Brumund berpendapat bahwa
perigi itu dimaksudkan untuk menyimpan abu jenazah para raja, pembesar atau
pendeta, sebagai perkembangan lebih lanjut dari kebiasaan menyimpan abu jenazah
di bawah sesuatu stupa dalam agama Buddha (Soekmono, 1974, 3).
Dari penelitian terhadap penggunaan kata “candi” dalam
kesusasteraan Jawa-Kuno unsur kegaiban itu memang seringkali jelas terbayang,
khususnya bila kita berhadapan dengan arti kiasan yang bersumber kepada fungsi
candi. Pengertian sebagai “yantra” dan sebagai “palladium” cukup memberi alasan
kepada Bahasa Jawa-Baru untuk menanggapi secara khusus unsure kegaiban yang
tersembunyi di dalam sebuah candi. Berbeda dengan penafsiran candi sebagai
“cungkup”, pengertian tersebut hanya terdapat di kalangan masyarakat di Jawa
Timur, namun dapat pula dihubungkan dengan pengertian candi di daerah Jawa
Tengah yang menyebut candi sebagai peti batu penyimpan abu jenazah. Karena
cungkup adalah bangunan untuk menaungi kuburan maka wajarlah bahwa apa yang
kita sebut dengan candi diartikan oleh mereka sebagai “cungkup”(Soekmono, 1974,
215).
Suatu kuburan tidak selalu diberi cungkup. Namun hanya
yang diperkirakan kuburan-kuburan orang-orang penting sajalah yang disertai
cungkup, dan raja adalah terhitung sebagai orang terpenting sehingga tentu saja
dicungkup makamnya. Maka dengan adanya istilah “cinandi” adalah “peti jenazah”.
Kesalahpahaman inilah yang akhirnya membuat para ahli berfikir ulang mengenai
pengertian maupun fungsi candi. Dari rakyat yang salah pengertiannya itulah
seorang ahli bernama Brumund memperoleh keterangan bahwa dahulu kala ada tiga
macam perawatan mayat, sehingga ia dapat menghubungkan penanaman abu jenazah
dengan perigi candi. Dan sumber itu pula lah yang membuat Winter ahli lain, dapat memberi penjelasan
bahwa candi adalah semacam peti batu tempat menyimpan abu jenazah.
Demikian karena itulah bahwa yang menjadi sumber
mula-mula anggapan seakan-akan candi adalah bangunan pemakaman, tidak lain
adalah berasal dari cerita belaka yang terlanjur hidup di masyarakat. Jika
sekarang ternyata cerita itu bersumber dari ketidaktahuan dan salah pengertian,
maka menjadi jelas pula mengapa penafsiran candi sebagai makam tidak
mendapatkan dukungan apa lagi pembuktian dari bahan-bahan serta
keterangan-keterangan authentik yang telah dikumpulkan. Sebenarnya, semua
petunjuk yang telah diperoleh merujuk pada sebuah kesimpulan bahwa candi memang
tidak pernah berfungsi sebagai bangunan pemakaman, walaupun hanya untuk menanam
abu jenazah sekalipun. Candi hanya berfungsi sebagai pendharmaan raja-raja yang
telah meninggal, biasanya dibangun 12 tahun setelah kematian melalui upacara sryaddha disertai dengan arca perwujudan.
Sebaliknya, pengertian yang berulang
kali adalah pengertian candi sebagai kuil.
Sebenarnya sebagai makam pun candi sudah menjalankan
peranan kuil, dan oleh karena menjadi tempat orang melakukan kebaktiannya
menyembah dewa. Seperti kita ketahui, dewa yang diwujudkan sebagai patung itu
sekaligus menggambarkan pula sang raja yang telah mencapai moksa. Maka dalam
candi terdapat penggabungan antara penyembahan dewa dan pemujaan roh nenek
moyang. Ritual inilah yang disebut sebagai upacara syraddha. Unsur dewa inilah yang menyediakan zat rohaniah dan
menurunkannya dari rongga atap candi ke dalam arca, sedangkan unsur nenek
moyang menyediakan zat jasmaniah dari dalam perigi candi, sehingga pada waktu
upacara area perwujudan itu menjadi hidup. Karena unsur jasmaniah itu tidak
mutlak harus berupa “restes d’un mortel” melainkan dapat juga diwakili oleh
pripih sebagai “reliques d’un dieu” maka abu jenazah sama sekali tidak
diperlukan (Soekmono, 1974, 218). Diperkirakan tata cara ritual yang dilakukan
pada saat mengadakan upacara di candi adalah dengan mengelilinginya. Ritus
mengelilingi pusat di dalam tradisi Hindu-Buddha dinamakan teknik pradaksina dan prasawiya sehingga pada candi-candi tertentu dibuatkan selasar
untuk ritual tersebut. Para ahli menduga bahwa pradaksina dan prasawiya
berhubungan erat dengan urutan pembacaan relief candi sesuai dengan fungsi
suatu candi. Teknik pradaksina adalah
cara pembacaan yang mengelilingi dari kiri ke kanan atau searah jarum jam,
sedangkan prasawiya adalah teknik
dari kanan kiri atau berlawanan arah jarum jam.
Dengan demikian maka, jika semula ada masalah “makam atau kuil” dan
“makam dan kuil”, sekarang dapat kita tetapkan bahwa pengertian “makam” harus
kita sisihkan sehingga yang tinggal hanyalah : candi sebagai kuil saja.